Powered by Blogger.
RSS

Pages

This blog talk about everything I wanna share to you

Struktur Perbankan yang Sehat sebagai pilar dalam API

Tugas Akhir Bank dan Lembaga Keuangan
Review Jurnal
Dosen Budi Hermana


Sejak krisis moneter yang dialami Indonesia pada tahun 1998, perkembangan perbankan nasional mengalami pasang surut. Dampak yang ditimbulkan dari krisis ini ditantai dengan terkikisnya permodalan bank, jatuhnya nilai tukar dan runtuhnya sistem perbankan.

Krisis nilai tukar menyebabkan Bank Sentral harus membiarkan rupiah berfluktuasi bebas karena cadangan devisa Bank Sentral yang tidak mampu menahan tingginya aksi spekulatif para investor.

Krisis runtuhnya sistem perbankan yaitu bank enggan untuk menyalurkan kredit (use of fund) kepada masyarakat. Keadaan ini bukan disebabkan oleh permasalahan supply (source of fund) karena jika dilihat pada saat itu banyak bank yang memiliki dana lebih, tapi disebabkan karena alasan perbankan yang ingin memperbaiki CAR sebagai ketentuan yang dikeluarkan BI dan kurangnya ruang untuk bank memberikan kredit kepada dunia usaha yang sedang mengalami krisis moneter.

Untuk menciptapkan perbankan yang sehat, kuat dan efisien, maka dibutuhkan sebuah rangka bangunan yang bisa menciptakan industri perbankan yang bisa membangun perekonomian nasional. Dan pada tanggal 9 Januari 2004 Bank Indonesia (BI) mengeluarkan API (Arsitektur Perbankan Indonesia) sebagai upaya untuk menyehatkan dan menguatkan perbankan di Indonesia.


Menurut Bank Indonesia , Arsitektur Perbankan Indonesia merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh an memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan.

Visi dari dibangunnya API

  • Menciptakan struktur domestik yang sehat yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dan mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan
  • menciptakan sistem pengaturan dan pengawasan bank yang efektif dan mengacu pada standar internasional
  • menciptakan industri perbankan yang kuat dan memiliki daya saing yang tinggi serta memiliki ketahanan dalam menghadapi resiko
  • menciptakan good corporate governance dalam rangka memperkuat kondisi internal perbankan nasional
  • mewujudkan infrastruktur yang lengkap untuk mendukung terciptanya industri perbankan yang sehat
  • mewujudkan pemberdayaan dan perlindungan konsumen jasa perbankan


Dari visi tersebut maka BI mengeluarkan API yang dianggap sebagai “bangunan masa depan”yang ditopang oleh enam pilar yaitu :
  1. Struktur perbankan yang sehat.
  2. Sistem pengaturan yang efektif
  3. Sistem pengawasan yang independen dan efektif
  4. Industri perbankan yang sehat
  5. Infrastruktur pendukung yang mencukupi
  6. Perlindungan nasabah


Ayo kita bahas apakah perkembangan dan pelaksanaan API untuk mengimplemantasikan kinerja bank sudah berjalan dengan baik? Saat ini dalam perbankan nasional jumlah bank yang ada di Indonesia adalah 132 bank dan menurut Budi Hermana 2011 menyebutkan bahwa 29 bank yang ada di Indonesia belum bisa memenuhi modal minimum sebesar 80 milyar. Padahal seharusnya, pada tahun 2008 perbankan nasional harus bisa memenuhi target tersebut.

Menurut Dias Satria dalam Lumpuhnya Alat Vital Perbankan, Sektor perbankan mengalami pergeseran fungsi vitalnya sebagai lembaga intermediasi, yang seharusnya efektif dan efisien mengalokasikan sumber dananya pada masyarakat. Padahal kita tahu bahwa fungsi bank yang paling utama adalah bagaimana bank dapat memperoleh sumber dana yang berasal dari masyarakat (tabungan, giro, deposito dan modal) lalu dialokasikan atau disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk. Bank seharusnya bisa mengaplikasikan tangan kanan (sumber dana) dan tangan kiri (penggunaan dana) dengan baik.

Dalam mengukur kinerja keuangan dapat dilakukan dengan menganalisa laporan keuangan tersebut, salah satu teknik dalam menganalisa laporan keuangan adalah dengan analisis rasio keuangan, dimana merupakan teknik analisis keuangan untuk mengetahui hubungan di antara pos tertentu dalam neraca maupun laporan laba rugi baik secara individu maupun secara simultan. (Mukhyi, 2008).  

Untuk mengukur kinerja bank kita dapat menganalisis berdasarkan rasio yang ada pada laporan keuangan yaitu CAR (Capital Adequacy Ratio) untuk mengukur kemampuan modal suatu bank, NPL (Non Perfoming Loan) untuk mengukur tingkat kredit bermasalah suatu bank ,Loan to Deposit Ratio (LDR) serta Earning Assets to Total Assets Ratio (EATAR), yang merupakan rasio likuiditas dan Return on Assets (ROA) serta Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) yang merupakan rasio rentabilitas. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nita Puspita Sari dalam Evaluasi Kinerja Keuangan Bank dalam Kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia yang mengukur perbandingan CAR, NPL, LDR, EATAR, BOPO, dan ROA.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Billy Arma Pratama ST diperoleh hasil bahwa Dana Pihak Ketiga (DPK) berpengaruh positif dan signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan. Capital Adequacy Ratio (CAR) dan Non Performing Loan (NPL) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan. Sementara suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap penyaluran kredit perbankan.

Struktur kepemilikan pemerintah, domestik, asing, profitabilitas, ukuran bank (size), risiko kredit dan beban manajemen secara simultan berpengaruh signifikan terhadap struktur modal bank.Struktur kepemilikan pemerintah, domestik, asing, profitability, size, credit risk, expense management dan struktur modal berpengaruh secara simultan terhadap fungsi Intermediasi Bank (Renniwaty Siringoringo dalam Karakteristik dan Fungsi Intermediasi Perbankan di Indonesia).

BI menargetkan pada akhir implementasi API, jumlah bank di Indonesia paling banyak 58 bank yang terdiri dari 2-3 bank internasional dengan modal di atas 50 triliun, 3-5 bank nasional dengan modal di atas 10-50 triliun, dan 30-50 bank yang kegiatannya terfokus pada segmen usaha tertentu dengan modal antara 100 milyar sampai 10 triliun.

Untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional maupun syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun resiko, mengembangkan teknologi informasi maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung peningkatan kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Kebijakan yang seharusnya dipilih : a) Kontrol Modal dan Regulasi ketat dalam aliran modal jangka pendek, b) Pengembangan penyedia informasi kredit (Credit Bureau), c) Pengembangan implementasi Manajemen Resiko yang terintegrasi, d) Penguatan modal sebagai buffertransaksi derivatif, e) Regulasi bagi masuknya bank asing di domestik dan f) Pengembangan perbankan syariah, dapat menjadi pertimbangan yang tepat bagi bank sentral untuk mengembalikkan fungsi vital perbankan “intermediasi”.

PBI nomor 8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal sengaja dikeluarkan agar bank memperkuat modalnya. Kebijakan ini sering disebut single presence policy. Menurut Lastuti Abu Bakar dalam Kebijakan Kepemilikan Tunggal (Single Presence Policy) dalam Mewujudkan Penguatan Struktur Perbankan Indonesia “kepemilikan tunggal sudah tepat diterapkan pada perbankan Indonesia dengan tujuan mengendalikan kepemilikan asing dan mengurangi jumlah bank sehingga mendukung efektifitas pengawasan oleh Bank Indonesia terhadap bank-bank”. Salah satu implikasi yang menarik adalah bagaimana pihak pemerintah menjadi pemegang saham pengendali di beberapa bank BUMN. Namun untuk mewujudkan kepemilikan tunggal, pilihan apa yang akan digunakan? Merger ataukah membuat holding company?

Dery Maradona dalam Analisa Rasio Kinerja Perbankan Pre-Merger dan Post-Merger pada Bank Umum Nasional mengatakan “setelah melakukan merger rasio rata-rata ROA yang dimiliki oleh ke-5 bank (Bank Mandiri, Bank Permata, Bank Danamon, Bank Century, dan Bank IFI )mengalami peningkatan, tetapi belum terdapat perbedaan yang signifikan terhadap hasil dari merger tersebut, Rasio rata-rata ROE yang dihasilkan ke-5 bank diatas justru mengalami penurunan, gambaran ini menunjukkan bahwa sebagian dari bank-bank tersebut belum dapat meningkatkan kemampuannya dalam menghasilkan pendapatan dari setiap rupiah modal yang ditanamkannya, rasio rata-rata NIM yang dimiliki ke-5 bank diatas menunjukkan meningkatnya efisiensi kegiatan operasional bank-bank tersebut, sedangkan rasio rata-rata LDR yang dimiliki ke-5 bank diatas justru menurun.

Dari penelitian tersebut dapat kita simpulkan bahwa merger bukanlah cara yang baik untuk mewujudkan Kebijakan Kepemilikan Tunggal (Single Presence Policy), namun jika pemerintah mengambil pilihan holding company, bank mana yang akan menjadi holding company? Menurut PBI edisi November 2010 yang dipublikasikan oleh bank Indonesia, jumlah bank umum yang modal intinya diatas 100 milyar adalah sebanyak 111 bank, jadi jumlah bank yang sudah memenuhi modal inti minimum untuk tetap menjadi bank umum setelah API adalah sebanyak 91 persen.

Data statistik modal inti bank berdasarkan laporan keuangan dari bank Indonesia menyebutkan bahwa PT Bank Mandiri, PT BRI , PT BNI, PT BTN jika modal inti digabung maka total modal intinya adalah 77 triliun. Jumlah modal tersebut sudah memenuhi syarat menjadi bank berkelas internasional bukan? Yang masih harus ditunngu sekali adalah pilihan mana yang akan diambil pemerintah.

Upaya yang dapat dilakuka adalah :
  • Penambahan modal baru baik dari shareholder lama maupun investor baru.
  • Merger dengan bank (beberapa) lain untuk mencapai persyaratan modal minimum baru.
  • Penerbitan saham baru atau secondary offering di pasar modal
  • Penerbitan subordinated loan.

Apabila program ini dapat berjalan dengan baik, dalam waktu sepuluh sampai lima tahun kedepan, program peningkatan permodalan tersebut diharapkan akan mengarah terciptanya perbankan yang lebih optimal. Namun tetap harus bersabar karena menurut penelitian yang dilakukan Hesti Hastuti dan Dr. Imam Subaweh SE., Ak., MM dalam Analisis Kinerja Kesehatan Bank sebelum dan setelah Arsitektur Perbankan Indonesia,tidak terdapat perbedaan rata-rata bank Go Publik sebelum dan sesudah API karena pelaksanaan API memerlukan waktu yang cukup lama, 2 tahun setelah dilakukan API belum berpengaruh terhadap kinerja bank.. Maka dari itu untuk menghasilkan struktur perbankan yang sehat dengan permodalan yang kuat dibutuhkan waktu lima sampai lima belas tahun.

Daftar Jurnal: 

  1. AnalisisKinerja Kesehatan Bank sebelum dan setelah Arsitektur Perbankan Indonesia.
  2. EvaluasiKinerja Keuangan Bank dalam Kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia.
  3. Karakteristikdan Fungsi Intermediasi Perbankan di Indonesia.
  4. LumpuhnyaFungsi Vital Perbankan.
  5. KebijakanKepemilikan Tunggal (Single Presence Policy) dalam Mewujudkan PenguatanStruktur Perbankan Indonesia.
  6. Peranbank jangkar dalam Arsitektur Perbankan Indonesia.
  7. AnalisisBiaya Dana, Persentase Aktiva Produktif, dan Pendapatan sebagai Faktor Pembedaantara Bank Fokus dan Bank Terbatas menurut Kerangka Arsitektur PerbankanIndonesia.
  8. ImplementasiRisk Management pada Industri Perbankan Indonesia.
  9. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakanpenyaluran kredit perbankan
  10. Analisa Rasio Kinerja Perbankan Pre-Merger danPost-Merger pada Bank Umum Nasional

Review Jurnal you can download here


Daftar Pustaka

E.S Margianti, Budi Hermana. 2011. Manajemen Dana Bank. Jakarta. Universitas Gunadarma
Umar, Husain. 2003. Metode Akuntansi Terapan. Jakarta : Gramedia
BankIndonesia.ArsitekturPerbankanIndonesia.http://www.bi.go.id/id/perbankan/arsitektur/Contents/Default.aspx.Diakses pada tanggal 12 April 2014
Puspita Sari, Nita. 2008. Evaluasi Kinerja Keuangan Bank dalam Kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia periode 2004-2008. Jurnal Universitas Gunadarma.
Siringoringo, Renniwaty. 2012. Karakteristik dan Fungsi Intermediasi Perbankan di Indonesia. Publikasi Jurnal Ekonomi Indonesia.
Satria, Dias. 2013. Lumpuhnya Fungsi Vital Perbankan. Publikasi Jurnal Umum Universitas Brawijaya.
Arma Pratama, Billy. 2011. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Kebijakan Penayaluran Kedit Perbankan. Publikasi Jurnal Universitas Diponogoro

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Biaya Dana Bank

Review Pertemuan 4
Dosen Budi Hermana

Biaya dana bank pada prinsipnya sama dengan produksi per unit barang yang dijual di industri manufaktur. Salah satu fator produksi bank adalah biaya bunga yang ditawarkan ke masyarakat agar mau menyimpan dananya di bank, semakin tinggi bunga simpanan maka diharapkan minat masyarakat sema kin tinggi juga.  Tetapi pada kenyatannya walaupun nilai rill simpanan di bank menurun, ternayata tidak menyurutkan minat masyarakat untuk menyimpan dananya di bank.

Faktor bunga yang rendah tersebut harusnya menyebabkan biaya produksi per unitnya harus rendah sehingga harga jual produk penyaluran dana bank menjadi lebih murah. Jika bank menjual penyaluran dananya ke kredit maka  bank menikmati margin keutungan. Tapi margin keuntungan tersebut tidak digunakan semua oleh bank. Dengan mengalokasikan dananya ke Sertifikat Bank Indonesia atau Surat Utang Negara, bank masih bisa menutup biaya bunga yang harus dibayarkan ke masyarakat penyimpanan dana.

Kejadian lain adalah banyaknya hadiah untuk masyarakat jika menabung di bank. Banuak bank yang lebih mengedepankan iming-iming hadiahnya daripada aspek kualitas.  Kita jarang mendengar iklan bank yang mengedepankan keberhasilan peningkatan integritas. Apakah dana yang tinggi tersebut dibebankan kepada para debitur yaitu yang memperoleh pinjaman dari bank. Ada ketidakadian , karena mungkin saja seorang debitur yang pembayaran bunganya lancar dan tertib ternyata menanggung biaya produksi bank yang tinggi, yang justru bukan disebabkan oleh jenis biaya yang sewajarnya. Misalnya menanggung ketidakefisienan dan baiaya hadiah yang luar biasa.

Metode Perhitungan Biaya Dana Bank
Biaya dana bank merupakan dasar penetapan suku bunga kredit setelah memperhitungkan keuntungan yang diharapkan termasuk biaya administrasi dan biaya-biaya lain.
Beberapa metode yang dapat digunakan dalam menghitung  biaya dana bank adalah :
1. CoF


2. CoM

3. CoL


4. CoP


Data Perhitungan yang digunakan menggunakan laporan laba rugi dan neraca Bank "x"' pada periode September 2013

Sumber :
E.S Margianti, Budi Hermana. 2011. Manajemen Dana Bank. Jakarta. Universitas Gunadarma

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Penilaian Kesehatan Bank

Review Pertemuan 3
Dosen Budi Hermana

Penilaian Kesehatan Bank

Kesehatan bank adalah kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku. Bank harus dapat melakukan kegiatan usaha antara lain:

  • Kemampuan menghimpun dana dari masyarakat, dari lembaga lain dan modal sendiri.
  • Kemampuan mengelola dana
  • Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat.
  • Kemampuan memenuhi kewajiban kepada masyarakat, keryawan, pemilik modal dan pihak lain.
  • Pemenuhan peraturan perbankan yang berlaku.

Tingkat kesehatan bank merupakan hasil penilaian kualitatif atas berbagai aspek yang berpengaruh terhadap kondisi atau kinerja suatu bank melalui penilaian faktor permodalan, kualitas aset, manajemen, rantabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap risiko pasar.

Menurut Undang-Undang tentang Bank Indonesia, Bank Indonesia adalah bank Sentral Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/ atau pihak lain, kecuali untu hal-hal yang secara tegas diatur dalam Undang-Undang ini. Keberadaan bank sentral yang independen di Indonesia merupakan satu prasyarat untuk dapat dilakukannya pengendalian moneter yang efektif dan efisien. Keinginan tersebut dapat dilihat dari dikeluarkannya krputusan Presiden No. 23 tahun 1998 tentang pemberian Wewenang Kebijakan Moneter Kepada Bank Indonesia serta intruksi Presiden No.14 tahun 1998 tentang Pembentukkan Kepanitiaan untuk Menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Kemandirian Bank Sentral.

Bank Indonesia mempunyai satu tujuan yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah dan nilai tukar yang wajar merupakan prasyarat bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang bersinambungan guna meningkatkan kesejahtraan rakyat. Tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut dapat ditopang dengan tiga pilar utama yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat dan tepat serta simtem perbankan dan keuangan yang sehat.


Salah satu peratuan perbankan yang paling pentng dan menjadi muara akhir atau hasil dari aspek pengaturan dan pengawasan perbankan yang menunjukkan kinerja perbankan nasional adalah tata cara penilaian kesehatan bank. Tatacara penilaian kesehatan bank ini secara umum tlah mengalami perubahan sejak peraturan pertama kali diberlakukannya pada tahun 1999 yaitu CAMEL lalu peraturan tersebut dirubah pada tahun 2004 yaitu CAMELS dan yang terbaru mengalami perubahan pada tahun 2011 yaitu RGEC (Risk Profile Good Corporate Goverment Earning Capital.

Apa yang melatar belakangi Bank Indonesia mengeluarkan Penilaian Tingkat Kesehatan Bank :

Dengan telah dikeluarkannya PBI No.13/1/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, maka Bank diwajibkan untuk melakukan penilaian sendiri (self assessment) Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan Risiko (Risk-based Bank Rating/RBBR) baik secara individual maupun secara konsolidasi

Seiring dengan kewajiban untuk melakukan self assessment penilaian Tingkat Kesehatan Bank tersebut, maka diperlukan petunjuk pelaksanaan yang mengatur lebih jauh mengenai penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, antara lain pengaturan mengenai prinsip-prinsip penilaian, mekanisme penilaian, tindak lanjut atas hasil penilaian, pelaporan, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum dalam SE BI.

CAMELS
Sruktur atau komponen penilaian CAMELS tertuang dalam dalam Peraturan Bank Indsia noonr 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 serta ketentuan pelaksanaanya sesuai Surat Edaran bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004. Semua komponen terlihat lebih mengarah pada ukuran kinerja perusahaan secara internal, mulai dari permodalan (Capital), Kekayaan (Asset Quality), Manajemen (Management), Keuntungan (Earning Power) dan likuiditas (Liquidity) serta Sensitivity to Market Risk. Sistem penilaian dengan 6 faktor tersebut sering disebut dengan CAMELS Rating System.
Jika  dibandingkan sistem penilaian kesehatan sebelumnya yaitu dengan metoda CAMEL (tanpa faktor S yaitu Sensitivity to Market Risk ), sistem yang berlaku sekarang memang lebih komprehensif, atau bisa diartikan lebih banyak komponen atau rasio-rasio yang dinilainya. Sebagai lembaga keuangan yang juga mengambil alih resiko dalam pengelolaan dana masyarakat, kepekaan terhadap resiko pasar tidak bisa dipungkiri merupakan prinsip perbankan yang tidak bisa ditawar.
Setiap jenis bank baik bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) atau bank konvensional maupun bank syariah memiliki perbedaan dalam tatacara penilaian kesehatan. Bank umum konvensional, bank umum berdasarkan prinsip syariah , dan BPR syariah sudah mengadopsi metode CAMELS atau dengan kata lain, metode CAMEL tanpa –S yang sudah dikeluarkan pada tahun 1997 sudah tidak berlaku lagi. Namun khusus untuk BPR konvensional, tatacara penilaian kehatannya masih menggunakan peraturan 1997.
RGEC
Pada tanggal 5 Januari 2011 Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia nomer 13/1/PBI/2011 tanggal 5 Januari 2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Penyempurnaan penilaian kesehatan bank dilatarbelakangi oleh perubahan kompleksitas usaha dan profil risiko, penerapan pengawasan secara konsolidasi, serta perubahan pendekatan penilaian kondisi banak yang diterapkan secara internasional mempengaruhi pendekatan Penilaian Kesehatan Bank.
Berdasarkan surat edaran Bank Indonesia no.13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 2011 perihal penilaian kesehatan bank.  Berikut matriks parameter atau indikator penilaian kesehatang bank:


Dengan metode RGEC nilai rasio belum menentukan nilai akhirnya. Untuk menentukan nilai akhirnya, kita dapat menggunakan matriks dua dimensi penilaian peringkat profil risiko versi RGEC. Kedua dimensi ini saling berhunbungan dan mempengaruhi. Sebagai ilustrasi,berikut ini adalah matriks dua dimensi penilaian peringkat profil risiko versi RGEC.


Dalam menentukan tingkat kesehatan suatu bank, setiap faktor penilaian Tingkat Kesehatan Bank ditetapkan peringkatnya berdasarkan hasil analisis yang komprehensif dan terstruktur dengan menggunakan indikator penilaian baik kuantitatif maupun kualitatif. Peringkat setiap faktor dikategorikan menjadi 5 kategori, yaitu peringkat 1, peringkat 2, peringkat 3, peringkat 4, dan peringkat 5. Urutan peringkat faktor yang lebih kecil mencerminkan kondisi Bank yang lebih baik.

Penilaian tingkat kesehatan bank dengan system RGEC, dalam faktor Risk Profile terdapat delapan indicator. Kedelapan indicator risiko tersebut adalah: Penilaian Risiko Kredit, Penilaian Risiko Pasar, Penilaian Risiko Likuiditas, Penilaian Risiko Operasional, Penilaian Risiko Hukum, Penilaian Risiko Stratejik, Penilaian Risiko Kepatuhan, dan Penilaian Risiko Reputasi. Setiap komponen indicator ini memiliki penilaian masing-masing yang kemudian tergabung menjadi Risk Profile.

Untuk Parameter/Indikator penilai faktor Good Corporate Governance (GCG) yang merupakan penilaian terhadap manajemen bank atas pelaksanaan prinsip-prinsip GCG mengacu pada Ketentuan Bank Indonesia mengenai GCG bagi Bank Umum degan memperhatikan karakteristik dan kompleksitas usaha Bank.

Selanjutnya untuk menentukan penilaian faktor Rentabilitas meliputi evaluasi terhadap kinerja Rentabilitas, sumber-sumber Rentabilitas, kesinambungan (sustainability) Rentabilitas, dan manajemen Rentabilitas. Penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat, trend, struktur, stabilitas Rentabilitas Bank, dan perbandingan kinerja Bank dengan kinerja peer group¸ baik melalui analisis aspek kuantitatif maupun kualitatif. Penetapan peringkat faktor Rentabilitas dilakukan berdasarkan analisis yang komprehensif dan terstruktur terhadap parameter/indikator Rentabilitas dengan memperhatikan signifikansi masing-masing parameter/indikator serta mempertimbangkan permasalahan lain yang mempengaruhi Rentabilitas Bank.

Penilaian atas faktor Permodalan meliputi evaluasi terhadap kecukupan Permodalan dan kecukupan pengelolaan Permodalan. Dalam melakukan perhitungan Permodalan, Bank wajib mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum bagi Bank Umum. Selain itu, dalam melakukan penilaian kecukupan Permodalan, Bank juga harus mengaitkan kecukupan modal dengan Profil Risiko Bank. Semakin tinggi Risiko Bank, semakin besar modal yang harus disediakan untuk mengantisipasi Risiko tersebut.

Daftar Pustaka :
http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ diakses pada tanggal 11 April 2014
Margianti dan Hermana, Budi. 2011. Manajemen Dana Bank Prinsip dan Regulasi di Indonesia. Jakarta. Universitas Gunadarma.
Triandaru, Sigit da Budisantoso, Totok. 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta. Salemba Empat
Surat Edaran Nomer 13/24/DPNP tanggal 25 Oktober 201 Peningkatan Tingkat Kesehatan Bank Umum.2011.Bank Indonesia. Jakarta

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mengenal Bank Syariah di Indonesia

Review Pertemuan 2
Dosen Budi Hermana

Mengenal Bank Syariah di Indonesia


Kegiatan ekonomi dalam pandangan Islam merupakan suatu tuntutan kehidupan. Kegiatan ekonomi ini memiliki tujuan, yaitu memenuhi kebutuhan hidup seseorang keluarga dan jangka panjang, menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan dan memberikan bantuan sosial dan sumbangan menurut ajaran Islam. Dalam pencapaian tujuan tersebut, ajaran Islam memberikan panduan untuk menegakkan asas keadilan, asas ini dilaksanakan dengan melarang semua bentuk peningkatan kekayaan secara tidak adil. Salah satu sumber penting penimgkatan ekayaan yang tidak diperbolehkan adalah menerima keutungan dalam sebuah transaksi bisnis tanpa memberikan imblan setimpal (riba). Riba secara literal berati peningkatan atau penambahan. Secara teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Warna islami dalam dunia bisnis tersebut berpengaruh besar dalam aktivitas perbankan.


Dalam aktivitas perbankan, penerapan ajaran Islam tersebut diwujudkan dengan pelaksanaan aktivitas perbankan berdasarkan prinsip syariah yang sejalan dengan pemikiran Islam mengenai aktivitas ekonomi. Seiiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi , pembiayan perbankan syariah juga mengalami penigkatan tajam. Kualitas pembiayaan syariah juga menunjukkan kinerja yang membaik dengan ditunjukkan oleh membesarnya porsi pembiayaan bagi hasil yaitu mudharabah dan musyarakah. Berdasarkan Statistik Perbankan Indonesia edisi November 2010 yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia, total Perbankan Syariah adalah sekitar 90,4 Triliun Rupiah. 

Pengertian Bank Syariah

Bank syariah merupakan bank yang dalam aktivitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah yaitu jual bli dan bagi hasil. Prinsip utama operasioanal bank berdasarkan prinsip syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari Al Qur’an san Al Hadist. Kegiatan operasional bank harus memperhatikan perintah dan larangan dalam Al Qur’an dan Sunnah Rasul Muhammad SAW. Larangan terutama berkaitan dengan kegiatan bank yang dapat diklasifikasikan sebagai riba.

Dalam menjalankan kegiatan bank operasionalnya, bank berdasarkan prinsip syariah tidak menggunakan sistem bunga, penentuan imbalan terhadap dana yang dipinjamkan maupun dana yang di simpan di bank didasarkan pada prinsip bagi hasil. Di Indonesia, keberadaan bank syariah darintis sejak diberlakukannya Undang-undang No.7 tahun 1992 tentang Perbankan. Perbankan syariah terdiri dari 11 Bank Umum Syariah, 23 Unit Usaha Syariah, dan 149 BPR Syariah. 

Perbedaan Bank Konevensional dengan Bank Syariah

1. Perbedaan Falsafah

Perbedaan pokok antara bank konvensional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga dalam seluruh aktivitasnya sedangkan bank konvensional justru kebalikannya. Hal inilah yang menjadi perbedaan yang sangat mendalam terhadap produk-produk yang dikembangkan oleh bank syariah, dimana untuk menghindari sistem bunga maka sistem yang dikembangkan adalah jual beli serta kemitraan yang dilaksanakan dalam bentuk bagu hasil. Pada dasarnya, semua jenis transaksi perniagaan melalui bank syariah diperbolehkan asalkan tidak mengandung unsur bunga (riba). Riba secara sederhana berarti sistem bunga berbunga yang dalam semua prosesnya bisa mengakibatkan membengkaknya kewajiban salah satu pihak.

2. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi berbrda dengan deposito pada bank konvensional di mana deposito merupakan upaya membungakan uang. Konsep dana titipan bererti kapan saja nasabah membutuhkan, bank syariah harus dapat memenuhinya. Akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengndapan dana, sesuai dengan fungsi bank sebagai intermediary (perantara) yaitu lembaga keungan penyalur dana nasabah kepada oeminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau nvestasi tadi kemudian dimanfatkan atau disalurkan ke dalam transaksi pernigaan yang diperbolehkan ada sistem syariah. Keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan ke nasabah. Jika hasil usaha semakin tinggi maka semakin besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Namun jika keuntungannya kecil maka semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya.


3. Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya, hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasi dana-dana sosial (zakat, infaq dan sedekah).

4. Struktur Organisasi
 Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan Pengaws Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktivitas bank agar selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawah oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasrkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keunangan syariah, DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan untuk memberikan sanksi.

Secara ringkas perbedaan antara bank syariah dengan bank konvensional dapat dilihat pada tabel berikut :

Sistem bagi hasil dalam perbankan syariah sering menjadi bahan pertanyaan dan selalu dibandingkan dengan sistem bunga dalam perbankan konvensional. Untuk menjelaskan keduanya, tebel berikut membandingkan sistem bagi hasil dengan sistem bunga.


Daftar Pustaka :
http://www.bi.go.id/id/statistik/perbankan/indonesia/Default.aspx diakses pada tanggal 10 April 2014
http://www.bi.go.id/id/peraturan/perbankan/Default.aspx diakses pada tanggal 10 April 2014
Margianti dan Hermana, Budi. 2011. Manajemen Dana Bank Prinsip dan Regulasi di Indonesia. Jakarta. Universitas Gunadarma.
Triandaru, Sigit da Budisantoso, Totok. 2007. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta. Salemba Empat

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS